menyambung part 1 dari kisah klasik oleh Aflah Rifdah Dzaki.

Namun ada pula, aku menyaksikan kesedihan yang muncul diraut wajah beberapa rumah dengan besar nya harapan kepada kami. Beberapa dari masyarakat yang aku datangi tidak hanya menjawab pertanyaan-pertanyaan yang aku lontarkan, tetapi sebagian dari mereka juga  kisah perjuangan kehidupan sehari-harinya yang jauh dari kata berada. Melihatnya dengan senyum yang dipaksa menghapus air mata, membuat hati teriris dan agar bisa memberikan yang terbaik untuk mereka.  Tekad ku semakin kuat, ketika badan ku  didekap dengan sangat hangat oleh seorang ibu yang sudah tua ronta yang luar biasa semangatnya.  Dalam dekap hangatnya, terdengar samar-samar ucapan terima kasih yang berisi sejuta harapan akan kehidupannya.  Pejuang Muda mengajarkan banyak hal tentang kehidupan, bagaimana kita bersyukur, menghargai sesama, bagaimana kita bisa bermanfaat untuk sekitar, dan nilai kehidupan tentang perjuangan melawan kemiskinan. Banyak pelajaran hidup yang ku ambil dari masing-masing nagari yang ku datangi. Seperti dari Nagari Cupak dimana di salah satu rumah ada seorang anak yatim piatu yang harus bertahan hidup untuk masa depannya, ia tinggal bersama neneknya yang umurnya pun hampir 70 tahun. Terbayang oleh ku dengan bantuan sosial PKH yang nominal nya tidak seberapa ia harus tetap berjuang demi cita-cita dimasa depannya kelak. Ini kembali membangkitkan semangat ku yang kadang selalu tidak bersyukur bisa kuliah dengan Beasiswa dan uang dari orang tua yang hampir dikatakan serba cukup. Lanjut di nagari Batang Barus terdapat bapak separuh baya umurnya sekitar 48 tahun yang harus menghidupi 3 orang anak seorang diri karena sang istri sudah meninggal dunia. Terbayang oleh ku bagaimana perjuangan nya menjadi seorang ayah sekaligus ibu untuk anak-anaknya. Ini juga kembali membuat ku tersadar dan seharusnya bersyukur masih mempunyai kedua orang tua yang lengkap. Di koto Gadang Guguak pun sama kisah pilu datang dari pasangan keluarga muda yang dikarunia anak penyandang disabilitas. Dimana anaknya lah yang mendapat bantuan sosial jenis BPNT karena kedua orang tuanya tidak mampu membayar kan pengobatan untuk anaknya. Jangan kan untuk pengobatan untuk makan sehari-hari saja kadang tidak ada cerita dari ibu anak penyandang disabilitas itu.

            Saat aku berkunjung disetiap rumah, penghuni nya pasti akan bertanya bantuan apa yang sedang aku bawa, mereka bertanya dengan penuh harap sambil memandang ke arahku. Ada suatu ketika aku datang ke rumah  yang terbuat dari kayu dan bambu yang hampir reyot, aku pun mengetuk pintu rumah itu sambil mengucapkan salam, tampak seorang anak perempuan dengan umur sekitar 14 tahun keluar membuka pintu rumah nya, lalu aku menyapanya “Hallo adek, benar ini rumah nya Ibu Erawati?” tanyaku ramah. Adek itu tampak berfikir sejenak lalu mengatakan “Ya, itu Ibu saya Kak, silahkan masuk” jawab nya mempersilahkan aku masuk. Aku pun mulai memasuki rumah ini lalu tampak oleh ku seorang Ibu yang sedang berbaring lemah di tempat tidur mengampar di ruangan saat aku masuk. Aku pun mulai menatap adek tadi seraya meminta penjelasan, adek itu seperti nya paham lalu mengatakan ”ini Ibu saya kak, ia terkena stroke sudah hampir 1 tahun jadi hanya bisa berbaring ditempat tidur kak” sangat memilukan jika mendengar kisah-kisah pilu ini, ada kalanya aku ingin membantu  namun apadaya tugas ku disini hanya untuk memverifikasi dan validasi data bukan memberikan bantuan sejenis apapun. Aku pun mulai menjelaskan maksud kedatangan ku ke sini kepada adek tadi mengingat Ibu Erawati yang tidak bisa di ajak berkomunikasi. Tiba-tiba adek itu langsung “kakak bawa bantuan apa kak, beras atau uang. Soalnya Ibu belum nebus obat kak” aku terdiam sejenak, bagaimana tidak kehadiran ku disini menjadi ujung harapan mereka yang membutuhkan. Dengan berat hati aku pun mulai memberikan penjelasan sedikit “Adek, kakak tidak memberikan bantuan apapun karena tugas kakak disinj hanya memverifikasi dan validasi Data dari pusat untuk penerima Bantuan Sosial PKH dan BPNT” jelas ku, adek itu pun tampak kebingungan seperti nya belum paham, aku pun mulai menjelaskan kembali dengan menggunakan bahasa yang mudah dimengerti “jadi tugas kakak hanya mencocokkan benar atau tidak nya kalau ibu adek masih disini, belum pindah marena ibu adek masih ada disini dan belum pindah nanti  kami laporkan dan kemungkinan bisa mendapatkan bantuan lagi, tetapi bukan kakak yang memberikan nanti ada juga petugas yang akan memberikan nya ke rumah adek nanti” jelasku panjang lebar, Adek itupun megangguk tanda mengerti.

           Dari setiap hal yang pernah dilakukan, akan memberikan banyak pelajaran yang akan berguna untuk kita dalam menjalani kehidupan ke depannya. Pejuang Muda mengajarkan kita sebagai pengabdi yang sesungguhnya, dimana kita berjuang dimedan perang yang dinamakan lapangan menuju rumah-rumah warga di pelosok-pelosok dengan akses jalan yang curam dan kadang melelahkan, namun disinilah kita juga belajar tentang keiklasan tanpa berharap pujian ataupun tepuk tangan pengakuan. Pejuang Muda juga mengajarkan bahwa tidak ada pengabdian yang tidak melelahkan, tidak ada pengabdian yang tidak  menguras otak dan tenaga, dan tidak ada pengabdian yang tidak bernilai.  Selalu ada cerita luar biasa dalam perjalanan pengabdian, mungkin saja perjalanan itu melelahkan tetapi cerita dibaliknya tidak kalah menakjubkan. Seperti halnya ceritaku yang ku tuliskan dalam perjalanan Pejuang Muda di sini.  Bertemu dengan 9 kepala dengan pemikiran dan ambisi yang berbeda, dengan memikirkan segala upaya sedikit mengenyampingkan ego dari masing-masing kepala, hingga mempromosikan perdebatan yang hampir membuat renggang persaudaraan yang ada.  Semua telah kami lalui, dengan baik hingga diakhir cerita.  Semua telah usai dan tuntas, Saat di hari penutupan program Pejuang Muda.  Hari ini dapat kami katakan dengan lantang, bahwa kami telah melakukan yang terbaik dan kini saatnya kami kembali dengan penuh rasa bangga.

Leave a Comment